Rabu, 04 Agustus 2010

OBSESSI WANITA PENAKLUK LELAKI

Kisah nyata ini saya tulis berdasar penuturan teman. Temanku yang selama ini aku kagumi, berwibawa, ramah dan santun, ternyata punya sisi kehidupan yang sangat bertentangan. Seperti siang dan malam.. Kisah nyata ini benar-henar terjadi pertengahan bulan Juli tahun 2005. Sengaja nama disamarkan, demi menghargai privasi para tokoh.

Tokoh yang terlibat:
Aku = Pak Guru, Pak Bambang, guru di sekolahan Nugie
Anita =Ir. Anita Oktaviani, Mamanya Nugie
Nugie =Nugroho Adi, Anak Mas Willy dan Anita
Willy =Mas Willy, suami Anita dan Papahnya Nugie
Mama =Ibu Laksmi Sulastri, ibunya Anita
Liani =Teman Anita, Ibunya Raka (teman Nugi)

HARI ULANG TAHUN YANG ANEH.
Baru saja aku menerima tas plastik berisi bingkisan dari orang yang baru saja aku kenal. Aku merasa aneh dan juga tersanjung. Selama ini aku tak pernah peduli hari ulang tahunku. Tak pernah aku merasa harus bersikap istimewa. Tapi hari ini lain. Terasa special karena hadiahnya dan terasa istimewa karena orang yang memberi. Seorang wanita cantik, dengan rambut disemir merah, berkulit putih bersih dan yang paling kuingat adalah hidungnya bangir banget. Mancung seperti hidung Arab.
“Met, ultah, ya “ ia senyum manis dan menyapa sok akrab sambil mengulurkan tangan. Namanya siapa aku juga belum tau. Yg kutau dia adalah orang tua atau pengantar siswa kelas 1 SD. Aku inget betul hari itu dia pake gaun merah hati dan bawahan hitam, Kontras banget dengan kakinya yang putih bersih.
“Ma kasih…kok Ibu tau? Kalo….”aku sambut tangannya sambil bingung sekaligus terpana liat kecantikan wanita ini. Dia tidak panggil aku Pak Guru, Aneh……? Kok seperti menyapa teman saja. Bukannya aku minta dihormati, hanya itu tidak biasa, di lingkungan kampus biasanya aku dipanggil “Pak””
Apa ini, Bu…?” Dia senyum lagi dan matanya menatap….nakal apa mesra gitu Ahhh….darahku terasa berdesir cepat.
“Ah, Cuma roti buatan Mama. Itu sekedar ucapan terima kasih, sudah ngasih aku lagu dan akord-nya”
Dia menjelaskan alasannya. Aku jadi ingat dua hari yang lalu ada seorang Ibu masuk ruang musik, tanpa ketuk pintu. Ruangan itu agak gelap dan aku baru konsentrasi ke lagu yang aku mainkan, jadi tidak begitu memperhatikan wajahnya. Dia minta not dan accord dari lagu Indonesia Raya yg tadi pagi aku mainkan saat mengiringi pengibaran bendera. Meskipun agak jengkel karena sikapnya yang kurang sopan, aku menyanggupi.
“Nanti ya, Bu, sepulang sekolah. Kuusahakan nanti sudah jadi.”
“Ya, makasih. Permisi.” Dia keliatan jengkel karena meliat mukaku yg tanpa senyum itu.
Istirahat ke-2 dia sudah muncul untuk minta teks yang aku janjikan nanti sepulang sekolah. “Sudah, jadi?” enteng sekali dia bertanya.
“Lho, kan aku janji sama Ibu, nanti sepulang sekolah?” tak terasa aku bicara dengan nada tinggi.
“Maaf, ya. Anakku pulang jam 10. Jadi kalo sampai jam satu kelamaan” dia menjelaskan.
Ya, sudah tunggu sebentar. Aku ambil partitur di dashboard organ. Kuberi accord sekenanya.
“Nih, maaf tergesa-gesa mungkin kurang komplit accordnya.” Kuberikan kertas itu. Dia menerima dengan muka bête.”Makasih, Permisi” dia berlalu. Agak menyesal juga telah berlaku kasar. Aku tercenung sejenak.
“Eh, bisa nggak ngajarin aku mainkan lagu itu?” pertanyaan itu menyadarkan aku dari lamunan sesaat .
Saat itu aku sudah di depan pintu kelas, siap mengajar. Sebenarnya aku sudah cukup “terganggu” dengan pemberian bingkisan ini. Tapi rasanya tidak etis kalo aku terus memutus pembicaraan. Maka aku jawab saja sekenanya, “O, bisa, bisa. Kapan pun. Bu, sebentar ya, aku harus mengajar. Maaf ya?”
“O, silakan, aku mau nunggu di depan kelas sini”
Aku masuk dan menyapa murid-murid. Saat itu aku mengajar Matematika. Anak-anak mengeluarkan peer, kulirik dan keliatan dari pintu yg setengah terbuka, wanita itu duduk di trap depan kelas sambil sms-an. Aku risau. Apa yg dia tunggu? Aku nggak suruh dia nunggu dan tidak janji apa-apa. Perasaan galau menggangguku sepanjang aku mengajar. Sampai waktu istirahat tiba. Wanita cantik itu masih di sana. Aku keluar menyapanya dan dia berdiri menyodorkan selembar kartu nama “Kamu bisa ke rumahku, kan? Nggak jauh kok dari sini. Itu ada alamatku di kartu nama itu.”
ANITA OKTAVIANI, S.T. aku mengeja dalam hati. Oooo, namanya indah sekali. Seindah wajahnya. Dan S.T. , sarjana teknik, wah dia insinyur.Aku kagum juga, sudah cantik, berpendidikan tinggi. Setelah kubaca lebih teliti aku jadi tau kalo rumahnya di seberang sekolah ini. Wanita itu terus memandangiku mengharap jawaban, “Bisa, ya?” suaranya terdengar manja, “Jam berapa?” dia terlalu pede bahwa aku pasti mau ke sana. Karena didorong rasa penasaran, akhirnya aku menjawab, “Ya nanti sepulang mengajar, aku langsung mencari rumah Ibu.” Aku ingin tau apa motivasi di balik semua ini.
“Makasih, ya….”Dia senyum lagi, “ Kok “Ibu” to, kamu kan sudah tau namaku.” Dia protes sambil melirik …manja.
Aku berusaha menanggapi sewajar mungkin. Senyum formal dan tetap bersikap hormat. Aku belum paham sikapnya yang menurut aku “sok akrab” itu. Bagiku kata “kamu” terdengar kurang ajar, apa dikira aku ini temannya. Paling tidak dia seumuran anakku. Aku sudah tua, usia berkepala 5. Dia paling baru usia 25 – 30 tahun.
Jam istirahat itu aku di kelas saja. Sambil kuamati kartu nama itu, aku terbayang senyumnya yang nakal dan manja tadi. Cantik juga dia, aku membatin. Bajunya dari bahan yg tipis menerawang, tidak mampu menyembunyikan kemulusan kulit pemakainya. Tingginya hampir 160 cm-an. Body ramping padat. Pinggangnya kecil dan pantatnya besar. Kalau diliat dari belakang saat dia berjalan, Hmmm…. Seksi bener cewek ini. Tak mungkin cewek secantik dia pedekate sama aku. pasti hanya ke-pede-an saja aku. Merasa sok ganteng. Aku sudah tua dan tidak terbersit sedikit pun keinginan “aneh dan kurang pantas” terhadapnya. Sama sekali tidak ada. Tidak mungkiiiin. Tapi…. Jujur, aku cukup tergoda juga dengan penampilan dan sikapnya. Mirip bintang fim India, tapi aku lupa namanya.

KUNJUNGAN PERTAMA
Tidak sulit menemukan rumahnya. Rumah kuno bercat hijau tua itu tidak terletak di jalan protokol. Tapi sedikit masuk gang. Rumahnya sepi. Aku mengetuk pintu meskipun ada bel pintu, karena setelah kupencet-pencet nggak ada jawaban. Hampir saja aku memutuskan untuk membatalkan kunjungan aneh itu. Eh… dia datang bersama anak laki-lakinya.
“Ternyata kamu tiba lebih dulu, ya. “ Dia menurunkan bawaanya yag banyak dan membukakan pintu. Aku dipersilakan masuk.”Aku ikut mobil antar jemput, muter-muter dulu, baru ke sini.”
Menurut aku, kalo jalan kaki kan lebih cepat, kenapa pake antar jemput? Tapi aku tidak bertanya. Atau karena dia belanja sebanyak itu. Maka dia lama baru datang.
Agak lama dia tidak keliatan. Mungkin sedang mengganti baju anaknya atau urusan apa. Aku memandangi kamar tamu itu. Ada foto manten. O itu suaminya. Tinggi besar dan ganteng. Ada pasfoto besar. Close upa wajah wanita ini dengan tulisan “Gadis Revlon”. Wah, foto model? Aku simpan semua keheranan itu sampai dia datang membawa segelas air putih.
“Yok, makan dulu. Sudah kusiapkan di belakang.” Dia menarik tanganku berdiri. Tangannya halus banget. Aku ikuti dia ke ruang makan. Sudah tersaji menu makan siang komplit. Dengan sigap dia meladeni aku, mengambilkan nasi, menawari sayur. Sebenarnya aku merasa senang, tersanjung, tapi tetap canggung dan ada sedikit curiga, kok terlalu baik, sih?
Sambil makan aku mencari tau latar belakang kehidupannya. Ternyata suaminya kerja di luar kota. Dia tinggal dengan Mamanya yg juga kerja seharian. Dia tidak kerja, tapi dicukupi oleh suaminya yag punya usaha salon mobil dan bengkel besar. Dia sangat menyukai musik. Dia senang kalo aku memainkan lagu-lagu pop dengan organ di ruang musik sekolah. Dealova nya Once, Kenangan Terindahnya Samson, dan beberapa lagu Peterpan. Itu lagu kesukaannya. Sebulan sudah dia mengamati kebiasaanku bermain musik itu aku.Sejak Juli, masuk pertama, dia sudah tau aku main music mengiringi upacara.
“Kamu pinter banget maen organ. Aku senang sekali kalo pas istirahat, kamu maenkan lagu-lagu pop. Dan dikerumuni anak-anak. Kamu guru favorit kayaknya.” Aku sendiri merasa biasa saja cara maenku. Bahkan aku merasa masih banyak salahnya, Dan aku nggak bisa baca not balok. Akhirnya waktu aku pamit setelah bikin kesepakatan kalo tiap Sabtu latihan musik.
Itulah awal aku berkenalan dg wanita cantik yang bernama Anita. Tugas pertamaku ngajari dia maen lagu Indonesia Raya, karena dia akan tampil di acara 17-an di kampungnya. Dia puya Yamaha PSR 450 kecil. Jari-jarinya masih kaku memencet tut-tuts organ. Tapi dia bisa baca not. Mula-mula aku selalu berdiri saat dia maen. Tapi lelah juga satu jam berdiri sambil sekali-kali membetulkan letak jarinya. Karena sering salah, akhirnya aku duduk mgasih contoh. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung duduk mepet dan memencet tuts. Akhirnya duduk empet2an di kursi kecil itu. Mula-mula aku ragu-ragu menyentuh tangannya. Lama-kelamaan terbiasa aku pegang punggung tangannya, betulkan posisi jarinya di atas tuts organ Saat dia konsentrasi ke organ, aku bisa amati wajahnya yang cantik, bibirnya yang mungil selalu digigitnya kalao pas serius atau konsen pada bagian lagu yg sulit. Kucuri pandang ke pahanya yang yang tersingkap karena kulotnya longgar. Kulitnya yang putih bersih dihiasi urat-urat darah berwarna hijau.Pikiran nakal timbul saat melihat pemandangan indah seperti itu. Kubayangkan seperti apa kalau kulot itu semakin dinaikkan? Terasa benar kehangatan tubuhnya saat duduk berdekatan seperti itu. Meskipun dia sudah main dengan lancar, aku sengaja tetap duduk merasakan sensasi yang nikmat, duduk dekat wanita cantik.

LES PRIVAT MUSIK APA MUSSEX?
Begitulah acara “les privat musik” itu berjalan sampai sebulan dan terus berkelanjutan malahan tidak hanya tiap Sabtu, bahkan hari lain pun aku datang, aku semakin akrab dengan Anita. “Interrogasi” diawali membicarakan music, sampai melebar ke masalah pribadi. Anita bicara blak-blakan, bahwa dia sebelumnya benci sekali pada aku Aku dinilai sombong dan jaim. Makanya dia punya obsessi mau menaklukkan aku yang sok jaim, sok ganteng, padahal tua, jelek sombong lagi (miskin pula) Dia bilang bahwa belum pernah ada cowok yg bisa menolak “godaannya” Hampir semua temen sefakultas dia ( yang kebanyakan cowok) memperebutkan dia. Ada dua cowok yg bersaing ketat, Salah satunya ya, suaminya ini. Suaminya menang karena bisa “nembak” dulu sampai hamil. Ternyata dulu dia mengalami MBA, merid krn “kecelakaan” Lebih dalam lagi dia menceritakan kekecewaanya pada suaminya yang menyeleweng, sampe pernah menghamili dua gadis. Untung gadis-gadis itu bisa dikadali (ditipu), hingga tidak menuntut dikawini. Sekarang hubungannya dengan sang suami jauh. Jauh di mata, jauh di hati. Suaminya sebulan sekali muncul hanya untuk “setor” ***tol dan setor uang belanja bulanan.
“Suamimu seperti lewat jalan tol, ya. Setiap melewati “itu”mu bayar TOL seminggu sekali.” Aku menanggapi curhatnya dengan bercanda.
“Itu … apa? Ayo….ngomong yang yang jelas! Uuuu…ngeres” Anita pura-pura protes dengan sikapnya yang manja.
‘Tapi bener kan dibayar dengan “tol” Wah, jalan tol Semarang - ***** memang sangat mahal. Sejuta dan seminggu baru sampai.” Anita mencubit mesra pinggangku.Kita sudah akrab seperti “pacar”
Anita sering sekali sms aku melanjutkan curhatnya yg tidak selesai di saat “les musik”
Isteriku pasti Tanya jika hapeku malem-malem bunyi,” Dari siapa to Pak, malem2 gini?”
Daripada rame, aku bohong saja. Aku sama sekali tidak berharap untuk “maen hati” karena aku sudah punya isteri yang cantik dan setia di rumah. Meskipun aku nggak punya anak. Tapi aku secara jujur, aku lama-kelamaan tergoda oleh aksi-aksi Anita yang menjurus ke hubungan khusus.Itu keliatan dari sikap dia yang posesif. Aku selalu dipantau dg sms, ke mana saja aku berada. Padahal isteriku tak pernah begitu. Aku merasa sangat terganggu dg sikap Anita itu, dulu. Tapi baru-baru ini aku sadar, bahwa itulah bentuk ungkapan cinta seseorang. Kalo telpon lama sekali, sampai telinga terasa panasnya hape, curhat masalah dg suaminya, dengan Mamanya yang berbeda pendapat dengan cara hidup Anita, Bahkan bicara tentang suaminya yang “PEL-tu” alias Edi (Ejakulasi Dini). Anita minta saran, bagaimana caranya biar suaminya tahan lama. Nah akhirnya yg dibicarakan masalah yang bikin horny. Tengah malam, sering telpon, dia bilang kalo“basah” Dia bahkan pernah sms saat tengah malam, minta aku ke rumah dia, karena dia sendirian. Anaknya ke rumah Kakeknya ( ortu suaminya) Mamanya ke cucunya ( anak adik Anita) Tentu saja aku tidak berani, bisa isteriku curiga. Lagian kaklau ketauan tetannga atau satpam, masuk Koran? Ah, malu. Nggak berani.
Bulan Desember 2005,sehabis motret murid-murid dalam penyas seni ******* aku ditelpon Anita. Dia sendirian karena anaknya lburan Desember di tempat Papahnya. Ke sana aku bawa kamera, dia minta supaya difoto. Berbagai gaya (dia pernah jadi model) dia coba. Akhirnya kita berfoto bersama dg kamera otomatis. Beberapa adegan saat berfoto bersama itu, benar-benar “gila” Dia peluk, dia cium pipi. Merangkul (nggandhul, karena aku lebih tinggi)
Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, wangi rambutnya, Sentuhan2 itu membakar adrenalinku, aku jadi lupa diri, kuberanikan tatap wajahnya dekat-dekat.Dia balas memandangku dengan tatapan memohon…untuk dicium, tapi ketika kucoba cium bibirnya, dia menghindar. Aku tidak mengejar, malah aku terus duduk. Aku sudah mengira, pasti dia nggak mau. Ternyata, dia menempel dan mepet dudukku; “Kamu marah? Kecewa ya?” Dia takut aku kecewa karena penolakan tadi.
“Aku sudah mengira, kamu pasti tidak mau. Kita berbeda usia sangat jauh, 25 taun’ aku menjelaskan alasanku “Aku berwajah pas-pasan, sedangkan kamu cantik dan pernah jadi foto model”
Di luar dugaan, Anita malah mencium aku penuh nafsu. Aku balas segera, Bibir bertemu bibir. Lidahnya kusedot dan bibir bawahku dia kulum. Tanpa kusadari, tanganku meremas-remas teteknya yang mulai mengeras. Nafas kita tersengal-sengal. “Jujur aku terus terang, seumur hidup aku belum pernah berciuman. Suamiku perokok berat sejak pacaran dulu.” Anita cerita saat jeda ambil nafas.” Kalo pacaran, pegang-pegang dan terus ke situ. Kasar sekali sikapnya”
Aku diam saja memandangnya (Tapi kamu agaknya suka dikasari, aku membatin)
Siang itu terjadi peningkatan kualitas hubungan. Tahap pendekatan sudah selesai. Meningkat ke tahap eksekusi. Anita masuk kamar, keluar lagi ganti daster (Tadi dia berceana jeans) Aku belum paham hal ini. Ternyata dia langsung duduk di pangkuanku dan menyibakkan dasternya. Aku terpana meliat dia tidak pake CD, memiawnya yg putih kemerahan ditumbuhi bulu halus. Kuraba tempiknya yang merekah itu dan ternyata sudah basah. Dia mendesah dan mendesis saat aku menemukan klitorisnya dan membelainya lembut. Matanya terpejam, tapi bibirnya menganga terbuka Ekspresi kenikmatan luar biasa.Teteknya diarahkan ke mulutku dan segera kusambut benda bulat putih itu dengan penuh nafsu bergelora. Aku sudah lupa isteriku. Lupa semua norma di dunia. Susunya semakin membusung dan putingnya mengeras. Putting itu kujilati dan mebuat dia berkelojotan di pangkuanku. Aku merasa sakit karena kemaluanku mengeras terhalang oleh celana. Kurebahkan Anita di sofa dan kulepas celana panjangku. Tongkat satpam ku segera teracung ke luar.
“Ah, besar sekali Yang” Anita memanggil Yang? Ah mesra sekali.
“Aku belum pernah “makan” tongkol seperti ini.” Keluar kata-kata kasarnya, tanda dia sudah terbakar oleh gelora nafsunya. Dengan ganas dilahapya kemaluanku yang keras dan memanjang itu. Diemutnya bergantian kedua bolaku. Di kamar tamu itu akhirnya kita bergumul. Padahal di luar cukup banyak orang dan pintu hanya ditutup saja tidak dikunci. Tapi perasaan terancam itu menimbulkan sensasi tersendiri. Kuarahkan torpedoku ke tempiknya yg sudah basah kuyup. Dia membuka pahanya lebar-lebar, pahanya yang putih berkilau menambah cepat aliran dara di torpedoku Tempiknya yang mungi itu menganga menantang untuk segera ditusuk. Dia membantu mengarahkan di lubang itu dan clepppp, Anita membeliak dah bola matanya hanya tampak putih saja. Mulut menganga, Aaaaahhhhh….Yang ennnnakkk..terusss…Yaaaang” Suara orang tertawa di luar tidak bisa mengalahkan pertempuranku dengan makhluk cantik ini. ‘Aaaannnn…. Oooh ayuuuu banget….oooh enak Ann?” aku nyerocos tanpa dipikir.
“Aduuuuh, Yang di situ enak sekali.” Wajah Anita seperti mau menangis, tapi karena kenikmatan yang luar biasa. “Terus masukkan, masukkan, kamu nakal, Yang, addduuh enak, kontoooooll” aku takut suaranya terdengar oleh orang yang ada di luar dekat teras. Nafasnya seperti orang berlari di tanjakan, dan merintih-rintih seperti orang disiksa. Dari nako aku meliat banyak orang duduk-duduk di teras depan. Memang agak jauh, tapi aku kawatir. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri dan berjalan kea rah pintu. ‘Wah, gawat… An…sssuudddah dulu…kamu masuk.” Cepat-cepat Aku menyambar pakaian di meja tamu,. Anita juga terus ambil taplak meja, menutupi tubuhnya. Lalu bergerak melanghkahi meja tamu yang rendah dan beranjak masuk ke ruang tengah. Aku pakai celana dg cepat sambil melompat di balik pintu. Orang itu ternyata hanya mengambil helm yang diletakkan dekat ambang pintu. Lalu pergi mengambil motornya. Segera kuraih kunci pintu kuputar ke kiri “Klik” Terkunci sekarang. Hampir saja. Anita sudah pucat berdiri memegang taplak untuk menutupi bagian atasnya. Padahal bagian bawahnya malah dibiarkan terbuka. Kudekati dia dan kupeluk erat.
‘Sudah aman … Yang’ Di ruang tengah di depan tivi, lebih longgar. Anita membungkuk, kepala di bawah. Payudaranya menggantung. Pantat putihnya mengundang “mas Joni’ untuk masuk lagi. Sanbil menghidupkan tivi Anita bertelekan pada meja rendah menerima sodokan-sodokanku. Diiringi music iklan, pertempuran berlanjut. Terasa pijatan-pijatan nikmat seoanjang batangku, Jalan semakin licin, lubang itu sudah begitu basah.
Kupercepat gerakan maju-mundurku,membuat dia semakin menggila. “Addduuu… ya kono kuwi, kono kuwi, teruuuus”“Yang ..aku keluuuuuuuaar,……aaaahhhhhhh” Aku merasakan cairan hangat meleleh keluar membasahi pahaku. Aku pun sudah sampai pada klimaks dan tanpa menunggu lagi kucabut terpedoku dan kusemprotkan peluruku ke wajahnya yang cantik itu. Hidungnya yang mancung itu berleleran lender kenikmatan. Wajahnya yang cantik itu berlepotan, ah…. sungguh pemandangan yang….menggairahkan. Sayang aku lupa untuk mengabadikan saat-saat itu. Aku baru merasakan kepuasan yang tiada terkira. Kamar tamu itu jadi saksi bisu, pertempuran Desember yang penuh kenangan. Tanggal 31 Desember 2005 merupakan hari bersejarah.
Kepada Someone with beautiful sharp pointed nose di Semarang, apakah kamu masih ingat hari indah ini?

( Bercinta disaksikan tatapan mata anak tak berdosa )
Maafkan, Ibumu, Nak

Setelah mereguk kenikmatan surga dunia bersama, Anita semakin akrab denganku. Dalam pembicaraan sehari-hari, di SMS maupun telepon, kita saling memanggil “Yang” Tentu saja hal itu kita lakukan bila berdua saja. Tetapi karena anaknya selalu berada di rumah bersama ibunya, maka, kita berdua harus main sembunyi-sembunyian untuk bermesraan. Pas dia keluar main, kita cepet-cepet ciuman. Pas dia ke WC, kita saling raba. Kita duduk, bentangkan koran lebar-lebar, berciuman. Maka selalu diusahakan agar sepulang sekolah, dia tidur. Jika lalai maka bisa terjadi si kecil ini menjadi saksi utama perselingkuhan ibunya dan aku. Anaknya bernama Nugroho tapi biasa dipanggil Nugie. Aku pun berusaha bersikap manis pada Nugie. Sering kuajak keluar beli VCD Playstation. Atau beli makanan kesukaannya. Hampir tiap hari aku mampir sepulang kerja. Tetangga kiri-kanan sampai kenal betul padaku. Tetapi mereka tahunya aku datang memberi pelajaran musik. Setiap aku datang Nugie biasanya sudah bobo siang. Anita selalu menemui aku dengan memakai daster itu ( dan pasti tanpa CD), Mulai dari makan siang, Anita sudah memanaskan suasana.
“Ah, panas sekali, ya? Setiap habis makan pedes aku suka kepanasan.” Dia ambil koran untuk kipas2.
“Memang wajar, Semarang bawah selalu panas, tidak makan saja sudah panas, apalagi habis makan” aku menimpali.
‘Apa kamu gak sumuk, ta? Sini bajunya aku lepas.” Anita mendekati aku dan membuka kancing bajuku. Nah, mulai dia.
“Jangan, ah. Nanti ada orang masuk, aku malu. Aku kan tamu di sini.” Aku menolak halus.
“Ya, wis. Kalau begitu, aku yang lepas baju. Aku gak malu, ini kan rumahku? “ dia mengggoda maksudnya mengancamku supaya aku mau lepas baju.
“Coba aja, kalau berani, “ aku tau dia memang sengaja membuka jalan dan aku memang mengharapkan peristiwa itu terulang kembali. Benarlah, satu per satu kancingnya dilepas. Aku memandang tak berkedip penampakan indah di depanku. Perutnya yang putih mulai terlihat, lalu belahan dadanya, dan setelah semua kancing terlepas……….sepasang mangga ranum nan putih, menggantung indah siap untuk dipetik. Aku masih jaim, tidak segera menyentuh, berpura-pura alim. Padahal gemuruh aliran darahku. Membuat muka terasa panas. Terasa batangku di bawah semakin keras. Anita tau kepura-puraanku. Dia mendekat dan pegang tangan kiriku, dituntunnya ke payudaranya. Tangan Anita yang lain mengelus celanaku yang menonjol. Diusap, digosok dengan lembut celana itu. Setiap gesekannya di celanaku mendidihkan nafsu kelelakianku.”Mulut bisa bohong, tapi iniiiiiiiiii….tidak bisa.” Anita mencibir mesra sambil jongkok di depanku. “Ayo, Jhon, keluar kalo berani” Anita bicara kepada “joni” sambil menurunkan resliting. Rrrrrt.. dan keluar langsung “ular hitam” itu. Panjang dan gemuk. “Ah, kamu ternyata sudah nggak pake CD ?” Anita mendelik kea rah “dik joni” jangan sok alim, sini “anak nakal” Anita menarik keluar batangku semuanya. Aku malu, dipermainkan wanita seumur anakku. Tapi tak sempat kurasakan, karena acara petik mangga tak bisa ditunda lagi. Bola bola putih ini, sangat kenyal dan besaaaar banget. Mengundang untuk disentuh dan dielus. Kusentuh halus berulang-ulang putingnya yang semakin mengeras. Kulihat di bawah sana Anita menikmati “lontong” hitam. Lidahnya lincah memandikan topi si joni. Lidah nakal itu berulang-ulang mengirim gelombang kenikmatan ke pusat syaraf. Kepalaya bergerak maju mundur, bibirnya yg mungil manyun dipenuhi batangku yg hitam yang terus menegang dan membesar. Tiba-tiba dia berdiri dan berbisik mesra, “Yang masukkan saja, nanti Nugie keburu bangun” Anita berdiri mengangkang di hadapanku. Akumengarahkan palkonku ke lubangnya yg menganga dan basah. Anita menurunkan tubuhnya pelan-pelan dan blesssssssss. “Aduuuuuhh ….Yang, punyamu kok panjang banget… Ssssssss” Mulutnya setengah terbuka dan pandangan matanya sayu. Kulihat dua warna kontras di bawah sana. Meqinya yang putih bertemu dengan benda hitam jelek. Liang itu terasa basah dan panas. Ada bau khas yang merangsang.
“Enaak, Nita?” kutatap matanya yang setengah terpejam. Kulihat semakin cantik di saat dia dipuncak nafsunya. Kukecup bibirnya dan dengan segera kami saling memagut. Kupeluk erat tubuhnya. Terasa hangat dan empuk buah dadanya menyenggol-nyenggol dadaku yang basah oleh keringat. Punggung Anita jga mulai terasa basah dan licin. Gerakan naik turun itu semakin cepat diiringi dengusan nafas kami yang mendengus-dengus” Hos…hus…hsss …hhhoh…hoh…” Anita melepaskan diri dari ciumanku dan mendongakkan wajahnya sehingga terlihat lehernya yang putih dan jenjang itu. Dapat kuliat wajahnya yang cantik itu memerah, lubang hidungnya kembang kempis, Ah, wanita yang begitu tenang dan anggun itu sekarang berubah ganas seperti ini. Liar…. Liar tak terkendali. Mulutnya mulai meracau tak sadar “ Ayo …Yaaaaang…… tusuk yang dalam…..ya..ya…ya…di situ enaaak..enakkk sekali.Ayo Yang ….cepeet...hahh...nanti...hah... Nugie ...sss... kebur...ruuu Aaaah….kontooollllll” segera aku bungkam mulutnya dengan ciuman. Aku khawatir Nugie akan terbangun oleh teriakannya. Tak bisa kutahan aku pun rasanya sudah mau meledak.
“Aaaaaan……..niiiiiiii…….taaaa…….” crot…crot…crot…. Anita menghentikan gerakannya dan memepetkan lubangnya sambil memutar-mutar pantatnya menikmati tembakan terakhir itu. Aku menikmati sensasi luar biasa itu dengan mata terpejam nikmat, begitu pula dia. Ketika sudah tuntas semua itu aku peluk dia di pangkuanku, dia pun memeluk erat-erat seakan tak mau melepaskan. Kami berpelukan dalam suasana hening sampai aku sadari bahwa aku masih berpakaian lengkap, hanya celana melorot di ujung kaki dan dasternya hanya terbuka atasnya.
“Yang….makasih….kamu hebat sekali..” bisik Anita lembut sambil merebahkan kepalanya di dadaku. Aku merasa bahagia sekali saat itu. Ada makhluk secantik ini rebah di dadaku. Tapi suasana itu berubah total ketika aku menoleh ke samping………………Nugie ternyata sedang mengamati kami dengan wajah polosnya. Dia berdiri mematung sambil menggendong guling kecil.
“Mama…..kok teriak ………………..napa to?”
Kami tak sempat menghindar. Kemaluanku masih tertancap di tempatnya dan berkedut-kedut. Untung paha Anita masih tertutup daster. Hanya payudaranya saja yang keliatan terbuka bergelantungan.
Pelan-pelan Anita berdiri sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan.
“Adik… …sudah lama…liat Mama?” Anita mendekati anaknya lalu menggendongnya masuk ke kamar tidur lagi. Dengan cepat aku mengelap kemaluanku pakai tissue yang ada di meja makan, cairan Anita masih melekat membasahi pahaku . Aku berdiri menaikkan lagi celanaku. Perasaanku tidak karuan. Semoga Nugie belum mudeng dengan semua ini. Setelah merapikan diri aku ke kamar tamu dan minum air es untuk mengobati rasa haus setelah bekerja keras tadi. Gelas es baru saja kuletakkan saat kudengar suara kendaraaan mendekat dan………berhenti di depan rumah. Ternyata Mamanya Anita turun dari boncengan ojek dan berjalan mendekati pintu. Oh, beliau sudah pulang kerja? Cepat amat ? Nggak biasanya. Ah, untuuuung... Aku segera ambil koran pura-pura membaca.
Tanpa mengetuk, wanita setengah baya itu membuka pintu, yang memang tidak terkunci. Begitu masuk beliau tersenyum kepadaku, aku menurunkan Koran dan menyapa beliau.
“Kondur, Bu... kok tumben pulang gasik....” aku berusaha menyapa seramah mungkin
“Oo, Pak Guru ….sudah selesai lesnya?” dia tidak menjawab, malah ganti nanya.
“Ya, Bu…. Baru saja selesai.” Apanya yang selesai? Aduuuuh, untung tidak ketahuan, Tumben sekali Mama pulang siang siang seperti ini?
“Disekecak ke lho Pak.......Endi ta Nita, kok Pak Guru, nggak dicaosi ngunjuk?” bahasa Jawanya santun sekali, maksudnya, aku diharap santai saja, kok belum dibuatin minum, Beliau terus masuk. Lama Anita menidurkan Nugie. Aku pulang tapi pamit kepada siapa? Beberapa saat Anita keluar menemui aku di ruang tamu.
“Mama...mana?” dia bertanya tapi berbisik.
“Masuk kamar dan gak keluar keluar” aku berbisik juga sambil menunjuk kamar beliau di dekat TV.
Anita tau-tau memijit hidungku dengan gemes, “Uuuh, gara-gara kamu....hampir aja”
Aku membalas sambil berbisik, “Kamu sih.....kalo keenakan....suka teriak.”
Tiba-tiba dia berdiri lalu mengangkat dasternya tinggi-tinggi……. Lalu…..hup! kepalaku dimasukkan ke dalam dasternya.” Ayo.....Yang...sebelum pulang....bikin aku basah dulu.” Tak bisa kulihat jelas benda di hadapan ku, cuma hangat luar biasa dan bau cairan wanita menyengat hidung membuat darahku menggelegak lagi. Lubang yang basah itu kusedot dan ...lidahku menusuk ke dalam sana. Pandangan dari kamar Mama ke posisi Anita terhalang buffet dan TV, sehingga aku tidak terlihat. Lima menitan aku puaskan dia, tangannya mencengkeram pundakku saat dia orgasme. Bersamaan itu terdengar “ Kreeeet.t...” Mama keluar dari kamar sudah berpakaian rapi, tapi sudah ganti pakaian kebaya. Cepet-cepet kepalaku dikeluarkannya dari “kurungan” sambil dia pura-pura mencari sesuatu di tumpukan majalah di atas TV. Dua kali sudah aku senam jantung, Lebih baik aku pulang, sudah jam tiga sore. Susah buat alasan buat isteriku di rumah, jika kesorean.
“Pareng, Bu.... sudah selesai lesnya “
“O, kebetulan, Pak, saya bisa mbonceng sampai jalan raya?”
Dengan kain kebaya seperti itu, memang susah jalan sampai jalan raya.
Sampai di jalan raya beliau dapat taksi. Sedangkan aku terus pulang dengan membawa kenangan tak terlupakan. Tidak hanya memandang dan mupeng liat cewek cantik, tapi sudah me-ra-sa-kan, Ahhh.
Baru saja, masuk rumah, HP bergetar. SMS dari Anita.........”tas kamu ketinggalan....”
-------------------------------------- terlanjur masuk rumah, besok ke sana lagi ---------------------

Braders, dalam seri berikutnya, Anita lebih gila, dia mengajak aku ke kota di mana suaminya kerja. Dan mengajak “main petak umpet” yang menegangkan.........
Tapi kalo seri ini aja nggak ada komen.... ya aku gak berani nulis....Takut bikin bosen.
Sori, alurnya belepotan. Maklum nubi masih blajaran.
Ok kutunggu..........komen or kritik pedes pun aku terima

Bila lagi membutuhkan kapan saja dan di mana saja
Peristiwa siang itu bukan yang terakhir. Akal sehat sudah memberi warning, tapi bila nafsu sudah menguasai pikiran, maka segala pertimbangan dan sikap menjaga diri, bisa dilupakan.
Hari itu , saat aku sedang mengajar di depan kelas, terasa HP di kantong celanaku bergetar. Kubaca SMS, dari Anita. “ jg lupa q masak kesukaan km . Mampir ya Yang. Mmmua..h”
Siang itu aku makan siang dg udang goring dan sambal terasi. Nugie asyik maen dg anak tetangga. Aku gak mau ceroboh lagi. Habis makan aku sempatkan duduk di depan keyboard, mainkan “Teman Tapi Mesra”nya Maia. Anita lagi beres-beres meja makan. Lagu belum berakhir, dadaku terasa hangat. Benda empuk menempel di punggungku. Lalu dua tangan dengan jari-jari lentik berkuteq pink memelukku dari belakang.
“Kamu kok suka lagu ini to Yang.”
“Aku pilih lagu yang cocok dengan suasana”
“Mmmmmh, kamu pinter.” Dikecupnya pipiku dari samping belakang. Yaaaa, terganggu deh permainanku. Badanku jadi condong ke depan. Gerakan jariku di keyboard terganggu. Lagu jadi kacau. “Yang, Nugie sewaktu-waktu masuk, lho.” Aku mengingatkan Anita.
“Kamu denger nggak, tuh, dia masih teriak-teriak di luar sana.” Dia beralasan malahan lalu ikut duduk memainkan keyboard.
“Kamu di melodi, aku accord-nya, ya” Anita usul. Jadilah kita main berdua. Kompak sekali.
Diulang-ulang sambil dinikmati suasana yang penuh kemesraan itu. Dalam suasana seperti ini Aku sudah lupa istri dirumah. Lupa bahwa wanita di sampingku itu bini orang. Bahwa itu bukan di rumahku.
“Yang, sejak aku SMP, aku mengagumi cowok yg pandai main gitar. Aku pengin banget nyanyi diiringi suara gitarnya. Tapi mimpiku itu gak bakal kesampaian, karena suaraku fals.” Anita berhenti main. Lalu share tentang salah satu obsessinya di bidang musik
“Sekarang, aku merasa mimpiku itu jadi kenyataan. Indaaaah sekali saat ini. Aku bisa main musik bersama kamu. “ Anita menatapku mesra sekali. Matanya lebar indah sekkali. Kuikuti gerak bibirnya yang mungil dan tipis itu meluncurkan kata-kata indah. “Kenapa aku baru menemukan kamu sekarang?” petanyaan itu tak kujawwab. Aku pun bertana dalam hati, “Kenapa naru kutemukan si cantik ini sekarang di usiaku yg sudah tua inii” Yeah, only heaven knows.
Aku diam terpesona oleh kecantikannya dan jiwaku serasa terbang ke awan jingga yang indah mendengar kata-katanya. Tapi hati kecilku mengakui kalau aku sedang selingkuh. Aku sebenarnya tidak mencintai wanita cantik yang baru kutemukan sebulan ini. Tapi aku juga takut kehilangan “mainan” yang menyenangkan ini. Lagipula aku paling tidak tega menyakiti perasaan orang lain.
Daripada menjawab salah dan berdiam diri juga salah, maka cara yang paling tepat adalah menciumnya. Begitu mesra suasana itu. Kita berdua tenggelam dalam lautan asmara. Blouse Anita sudah acak-acakan, payudaranya pun sudah melompat keluar dari tempatnya. Bukit kembar putihnya itu kuremas, kukulum putingnya penuh nafsu. Anita mendesah nikmat dan tiba-tiba….kreeeet….pintu belakang terbuka diiringi suara anak berlari sambil berteriak, “Mamaaa…..Amel curang. Amel…nakal” Nugi masuk dikejar Amel, cewek kecil teman mainnya. Anita belum sempat memasukkan kembali dua buah dadanya yang bergelayutan di luar blouse nya. Amel dan Nugie menatap penuh keheranan.
“Iiih, Mama lucu, kok gak malu to Ma, ada Pak Guru kok nenennya dikeluarin?”
“Nugie! “ Anita membentak anaknya “ Siang-siang begini main kejar-kejaran. Masuk pintu sambil lari. Tidak sopan, tahu?”
Aku tau, Anita sebetulnya merasa malu kedapatan begitu oleh Nugie. Maka dia pakai senjata orang dewasa pada anak-anak….Marah. Kemarahannya juga disebabkan oleh terputusnya saat-saat dia lagi menikmati dicumbu lelaki. Tapi aku tak bisa menolong Anita. Aku pun ikut bersalah. Anita kemudian menggelandang anaknya ke kamar mandi untuk dimandikan, setelah itu disuruh tidur. Amel pun keluar dengan takut, tanpa berpamitan. Aku jadi khawatir, kalau dia cerita kepada orang tuanya, Aduuuhh….. runyam.
Setelah Nugie tidur, Anita keluar menemui aku di kamar tamu. Aku usul.
“An, daripada tidak aman, sebaiknya kita di hotel aja kapan-kapan.”
“Sorry, ya Yang. Anakku nakal, ya? Jangan kapok ke sini, ya?”rasanya jawabannya nggak nyambung. Ya udah, aku pamit dengan mengecup pipinya. Kecewa tapi juga bersyukur. Kecewa karena terputusnya saat-saat nikmat. Tapi bersyukur belum sampai kebablasan.
Meskipun aku usul untuk pakai hotel. Tapi aku belum pernah mengajak dia. Aku belum cukup PD untuk memulai berkencan di hotel. Rasanya kok kurang ajar mengajak wanita baik-baik dan terhormat untuk “begituan” di hotel. Aku khawatir dianggap merendahkan wanita. Meskipun sebenarnya Aku pengen, tetapi aku juga takut ditolak. Selama ini selalu Anita yang ambil inisiatif. Jadi, sampai beberapa bulan berlalu belum pernah nyoba chek in di hotel mana pun. Tetap ketemu di rumah itu lagi. Bercumbu di rumah secara sembunyi-sembunyi dengan resiko ketauan cukup tinggi.
Waktu itu, bukan hari Minggu, tetapi libur. Libur apa… aku lupa. Mama libur, Nugie nggak sekolah, tetapi ikut Papanya di kota lain. Aku ditemui Mamanya ( dan dia, tentu saja)Ngomongin macem-mcem yang ringan-ringan. Tidak bicara masalah pribadi. Enak juga beliau diajak ngobrol. Tidak lama kemudian, Mamanya meninggalkan ruang tamu, mau masak. Sekarang berdua. Tapi mau apa? Ada “satpam” , Mama maksudku. Tidak mungkin kita “main dokter-dokteran” di hadapan orangtua itu. Biasanya Anita pakai daster “special” dan lepas CD, supaya praktis kalau mau “dipakai” barangnya. Tapi pagi itu dia pakai celana training berwarna biru tua dan kaos ketat berwarna ungu tua kehitaman. Percuma, aku jauh-jauh datang “apel” tanpa ada “pekerjaan tangan” Ijin istri susah, harus nganter belanja dulu. Sekarang di sini nganggur. Ah..bete.
Tadinya kita duduk di kursi yang berhadapan dibatasi meja tamu yang rendah. Lalu Anita mengajak aku duduk di sofa yang cukup panjang dan longgar buat berdua. Sambil tetap menjaga kewaspadaan, Anita mencoba agresif. Aku hanya berani sentuh-sentuh dadanya dari luar. Tiba-tiba dia berdiri tepat di hadapanku. Kulihat tepat di depan mataku ….. dan aku hampir tak percaya…Anita memakai training yang berlubang tepat di memiawnya. Lubang surganya di dekatkan ke mulutku. Posisiku membelakangi dapur, sedangkan Anita bisa melihat dengan jelas ke a rah dapur, karena dia berdiri. Kuperlebar lubang celananya, “Kreeek….”
“Ayo Yang, jilat….jilat itilku” Anita berbisik , “ Keliatan nggak?”
Tanpa ba-bi-bu, kujulurkan lidahku. Kusapu bibir kemerah-merahan penuh rambut itu. Baunya yang khas sangat merangsang. Kucari di mana “kacang”nya berada. Lalu kujilat, kusedot, kuelus mesra dengan iujung lidahku. Anita mendesis tertahan. Tangannya mencengkeram pundak, menahan rasa nikmat yang mulai dirasakannya saat klitorisnya disapu kehangatan lidahku. Lalu satu kakinya ditumpangkan di pundakku, sehingga lubang itu tambah lebar menganga. Kini lidahku bisa menyapu dinding rahimnya, yang menimbulkan rangsangan birahi yang tinggi.
“Yang, aku paling senang kalau jarimu kamu masukkan ke situ maju-mundur”
pas lidahmu menjilat itilku, Itu enak banget.” Dengan patuh kuikuti petunjuk beliau. Sambil kujilat, aku mengobel tempiknya. Desisnya semakin keras seperti orang kepedasan Tanganku naik, kutelusupkan tanganku ke dalam kaos ketatnya . Oooo… dia nggak pake bra. Ujung jariku kupakai untuk menyentil nyentil putingnya yang mulai mengeras dan mengeras. Setelah putting itu tegak kenceng, kuremas bergantian susunya. Terasa semakin membesar bukit-bukit di dadanya. Bersamaan dengan itu, batang kemaluanku pun terasa mengeras. Apalagi sambil duduk seperti ini, Makin keras, makin terasa sakit. Tanganku berpindaH dari memijit-mijit susu, pindah ke celanaku. Dengan cepat kubuka risleting celanaku Dari dapur kudengar Mama menggoreng sesuatu hingga bersuara keras “Sreeeeengg” .
Anita berbisik ke telingaku. Aku paham, lalu bergegas ke dapur. Anita kutinggalkan dalam keadaan “payah” Yaaa….pekerjaan terpaksa terhenti.
“Masak apa Ma….. baunya sampai ke ruang tamu?” aku menengok ke dapur berbasa-basi.
“Bumbu Bali” jawab Mama tanpa menghentikan kegiatannya.
“Ma….mau nunut ke belakang “ aku minta ijin mau ke kamar mandi.
“Mangga-mangga,……ini lho katanya ini kesukaan Pak Guru…..” Mama menjawab sambil terus mengaduk-aduk kuah berwarna merah di wajan penggorengan. Tanpa menjawab aku bergegas ke kamar mandi. Di kamar mandi, segera kulakukan saran Anita. CD kulepas dan kukantongi. Aku keluar lagi, berpakain rapi tapi….. tanpa CD.
“Adduuuu …pasti enak, niih.” Aku berbasa-basi lagi ketika melewati dapur. langsung ke kamar tamu, di mana Anita sudah tak sabar menunggu.
“Gantian kamu berdiri, aku yang duduk” Anita menyuruhku berdiri menggantikan posisi dia tadi. Segera kuturunkan resliting celanaku, alat vitalku meloncat keluar. Sudah siap tempur, panjang membengkak. Tidak menunggu lama, Anita sudah asyik ber“karaoke” dengan lagu tunggal “Teman Tapi Mesra” Geseran lidahnya di kulitku terasa basah, lembut hangat. Apalagi saat mulut mungil itu menyedot nyedot, penisku seperti dipijat pijat, enaaaak sekali. Mataku menatap nanar ke dapur. Mengantisipasi, kalau-kalau Mama keluar dari sana. Tapi serangan gelombang birahi yang dahsyat itu membuat pandangan mataku kabur. Kadang kelihatan, kadang hilang. Seperti kuning semua. Nyuuut…nyuuut…nyuuut…
Satu tanganku terjuntai kebawah memainkan “papaya” nya yang putih yang menyembul keluar dari kaos hitamnya. Susunya nampak sangat putih kontras dengan kaos hitamnya. Hampir saja aku meledak, tak tahan, untung Mama memanggil, “Nitaaaa …. Ambilkan piring panjang di lemari bawah!!”
Dilepasnya tongkolku dari mulutnya. Buah dadanya dimasukkan kembali ke tempatnya. Anita bangkit berdiri, “Ya, Ma, sebentar….” Terlihat kekecewaan di wajahnya. Sesaat kemudian, dia kembali ke ruang tamu langsung menyuruhku duduk. “Yang…cepet sudah hampir selesai masaknya”
Dia mengangkangi kedua pahaku. tongkolku sudah tegak menunggu lubangny a yang basah menganga.”
“Masukkan, masukkan…… adduuu….ssssh…” dia menggenjot naik turun dengan cepat. Agak kuangkat pantatku untuk mencegah bunyi kerenyat-kerenyit sofa. Pacuan kuda sedang mencapai finish. Akselerasi kecepatan meningkat dan terus meningkat
“Cepet…cepet…Yang….aku…aku….mau….” Anita berbisik tapi terlalu keras juga. Kupercepat gerakan itu hingga berbunyi… crap….crap…..crap…..karena memiawnya sudah sedemikian basah.
“Nitaaa…..kamu yang nggoreng krupuknya ya, aku mau isah-isah dulu.” Mama berteriak lagi.
Anita tidak menjawab, malah mempercepat gerakannya, “Hssss…hsss….ayooo Yang…keluariiiin,”
Makin cepat, makin cepat dan……crot…crot…..spermaku muncrat….DI DALAM!
“Mmmmh…….aku juga keluaaaaaar….oooohhhh……PLOP! Penisku lepas dari lubangnya, Anita berdiri, dengan agak gontai tapi puas. Kuambil CD di kantongku untuk mengelap penisku yang berlumuran cairan kenikmatan, Benar-benar pengalaman sensasional. Senam sex sekaligus senam jantung, berpacu dengan waktu.
Menunggu sendirian di kamar tamu, aku merenungi keadaan. Ini benar-benar gila. Aku berada di rumah cewek cantik bini orang. Pintu depan tidak dikunci. Mama di dapur, Di kamar tamu aku bergumul melepas nafsu setan. Adduuuuh hanya nasib baik saja yang sedang berpihak padaku sehingga tidak kepergok..Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya Mamanya itu tau nggak ya, kalau aku punya hubungan special dengan anaknya. Kok baik banget kepadaku. Tadi dia masak untuk aku. Siapa sih aku? Dianggap sebagai apa aku ini? Penuh sesak otakku dijejali bermacam pertanyaan. Sampai tak sadar, Mama sudah berdiri di sampingku.
“Ayo, makan, Pak Guru.” Beliau meggamit pundakku. “Kok ngelamun. Mikir apa, ayo?”
Bingung aku mau jawab apa. Pertanyaan di kepala saja, belum terjawab. Ini ada pertanyaan lagi.
“Cuma heran aja, Mama kok baiiiik, sama aku.” Meluncur saja jawabanku sekenanya.
Di meja makan, Mama cerita panjang lebar tentang dirinya, tentang Anita yang pernikahannya terkatung-katung. Punya suami tapi tak pernah bertemu. Diakui Mama, bahwa sebetulnya dia tidak setuju Anita menikah dengan Mas Willy. Tapi beiau menyetujui karena Anita “kecelakaan”, atau stilah kerennya, MBA. Mama sekarang merasa senang melihat Anita, kini hidupnya ceria, setelah mengenal aku. Satu pertanyaan Mama yang menohok langsung hatiku. Pertanyaan yang terpaksa kujawab dengan bohong.
“Tetapi Pak Guru hanya bersahabat biasa, kan?”
“Ya, iya lah,Bu. Saya memposisikan sebagai teman, sebagi kakak dan yang pasti sebagai guru les musik nya.” Pokoknya pandai-pandailah bikin argumentasi super gombal.
“Ya, syukur kalau cuma sahabat biasa. Saya percaya, kok.”
Modar…..aku. Aku tidak seperti itu, Bu.
Hari-hari terus berlalu dan aku selalu SETIA (SElingkuh TIada Akhir) menemani Anita dengan problem-problemnya. Kalo dia curhat pakai hape sampek panas terasa di telinga. Lebih dari satu jam. Dia punya masalah dengan anaknya, yang sekarang berada di kota K***** bersama Papanya.
Anita kirim SMS. Dia kangen, tapi dia sekarang di K***** menunggui anaknya liburan di sana. Dia “mendesak” terus supaya aku datang ke sana. Aku heran dan bingung. Mana mungkin aku bertemu suaminya dan menemui dirinya di depan suaminya. Tak mungkinlah. Tapi Anita memohon dengan menangis (telpon) kirim SMS sampai hapeku full.
Hari Minggu, aku pamit isteri mau njagong manten ke Ambarawa, ada teman guru menikah. Tetapi aku ke Terminal Terboyo menutipkan motorku seharian di sana. Aku ke K naik bus. Mulai dari Terboyo aku teru s dipantau dengan SMSan. Nanti turun di terminal bus di K ****lalu cari anngkot jurusan Matahari Mall.
Aku tiba di Matahari Mall, sebelah Barat. Aku celingukan nggak ada yg kukenal. Lewat SMS, aku disuruh Anita menunggunya berdiri di depan toko sepatu “Bata”. Kuikuti petunjuk itu. Lama aku menunggu penampakannya. Kukira dia akan datang dari seberang ( sebelah Barat ) karena di sana arah ruko suaminya berada. Aku terkejut ketika ia datang dari gang di samping toko. Dia muncul di belakangku. Penampilannya keren banget. Jeans ketatnya membuat pantatnya keliatan lebar, Blouse merah bergaris-garis hitam yang menampakkan pinggangnya yang ramping, Berkaca mata rayban. Wuih, seperti Nafa Urbach atau…..Rahma Azhari. Yang bikin aku jadi agak kecut dia menggandeng Nugie anaknya. Wah, alamat buruk, nih
“Aku tadi minta dianter Mas Willy nganter Nugie main dingdong di Matahari. Tempat parkirnya di belakang sana.” Anita menjelaskan kenapa lama.
“Trus mau apa. dan .mau kemana?” aku cuma bertanya-tanya sebab aku merasa begitu asing di kota itu.
“Aku mau ajak kamu menikmati Soto K**** yang terkenal di sini. Aku panggil becak menuju ke warung soto yang terkenal. Sotonya memang enak sekali. Paru gorengnya istimewa.” Sepuluh menit sampai di warung itu. Penuh sesak pembeli, tapi masih kebagian tempat duduk. Nugie berada di antara aku dan Mamanya. Setelah menunggu cukup lama, sotonya datang. Meang istimewa. Tetapi kelezatan soto itu hilang seketika saat terdengar suara seorang pria, yang ternyata Papanya Nugie, alias duaminya Anita, menyapanya dari jalan, agak berteriak. Anita terkejut sekali, wajahnya memucat. Jantungku serasa berhenti tapi otakku berpikir cepat, bagaimana caranya menghadapi situasi seperti ini. Orang berkaca mata hitam itu masih duduk di dalam mobil dan melongok keluar dari jendela mobil.”Katanya main ding-dong kok malah ke sini.” Anita terlihat bingung mau jawab apai. Tak disangka Nugie malah berdiri dan mendatangi Papahnya, ”Papa, katanya mau beliin kaset PS yang Megaloman, kok malah ke sini. Ayo beliin dong. Nugie kan lapar. Habis makan aku pulang. Trus mau maen playsation di komputer toko aja. Awas, kalau Papa belum beli!” Nyerocos si kecil itu mengancam Papanya. Sebenarnya aku baru saja mau berpindah tempat duduk menjauh di ruang dalam sana. Tapi Papah Nugi sudah pergi. Lega rasanya.
“Nugie sudah aku ancam. Kalo Nugie cerita tentang kamu. Aku tak mau datang. Trus dia janji mau “belain” Mamanya”. Anak cerdas juga, pikirku.
Anita lalu atur strategi. “Kamu kutinggalkan di sini dulu. Setelah aku dapat becak, kamu jalan kaki sampai perempatan itu. Di sana kamu cari becak kembali ke Matahari Mall. Aku takut kalo Papanya Nugi masih megikuti kita.” Aku ikut saja, pola permainannya. Setengah jam kemudian aku tiba dengan becak di pelataran belakang Mall. Aku turun dan celingukan. Anita gak muncul. Aku gelisah dan jengkel. Iseng-iseng aku masuk ke ruang game dan playstation. Siapa tahu Nugi main di situ. Nah, itu dia. Nugi dipangku pria gagah berkaca mata hitam Nah, itu Nugi sama Papanya .tapi Anita mana? Aku celingak celinguk. Tiba-tiba kurasakan pinggangku dijawil seseorang “Heh…cari siapa?”
“Lho….kamu kok nggak bersama anakmu?” aku sekedar bertanya saja..
“Ikut aku………” aku ditariknya keluar dari room itu. Biar Nugi asyik sama Papahnya” Sampe di toilet tanganku di lepaskan. “Ayo, masuk…..” Tangan Anita memberi tanda ke arahku. aku masuk ke kamar mandi umum yang berukuran kecil itu. Aku menutup pintu, tetapi agaknya sudah dol, kancingnya tak mau nyangkut, kucoba berkali-kali tetap ngggak bisa. Aku baru mau usul untuk pindah kamar mandi lain, saat aku menoleh, Anita sudah melepas celana panjangnya tinggal pakai CD .Pahanya yang putih mulus itu nampak jelas. Darahku berdesir kencang. Kupepet pintu yg rusak itu dengan pantatku supaya tidak membuka sendiri. Anita menaikkan satu kakinya ke bak kamar mandi yang rendah, sehingga pangkal pahanya terbuka menantang. Dikuaknya CDnya sehingga sebagian jembutnya keliatanmenghiasi bibir vaginanya. Didorongnya ke bawah kepalaku, maksudnya supaya aku “makan” barangnya. Kuraba-raba dulu dengan ujung jariku dan kucari G-spotnya, Ini dia! Gosokan lembut di bagian itu membuat tubuh Anita bergetar apalagi dia berdiri hanya dengan satu kaki. Kepalaku makin ditekan “Ayo Yang jilat tempikku” ia memohon sekarang. Lidahku segera menjulur menari-nari di lubang kenikmatan itu naik turun, naik turun diselingi tusukan-tusukan lidah, Di luar kudengar orang masuk dan membuka pintu kamar mandi sebelah. Degusan nafas kami sepertinya menjadi terlalu keras di tempat itu. Untung musik dari ruang game cukup keras. Dirabanya bagian celanaku yang menonjol. Anita mengelus-elus dari luar “ular” yang masih tertidur itu, yang mulai menggeliat bangun. Makin lama dielus tonjolan di celana itu semakin menggembung dan menggembung. Anita menurunkan retsluiting dan… . . . .te rere ret…ular itu sudah membesar melompat tidak sabar kepada Sang Putri yangmerindukannya.
“Iiiihhh….nggak pake CD. Ih…kamu memang jorok , nakal… hmmmmmh” Anita nampak gemes tetapi senang atas ideku yang cemerlang itu. Langsung disantapnya sosis istimewa itu. Kini ia jongkok di bawahku, Kedua pahanya yang putih terpampang indah tertimpa sinar matahari yang terang dari genteng kaca. Begitu putihnya sampai terlihat urat-urat hijau membayang. Melihat kemulusan pahanya, menambah tegangnya diriku. Bertambah panjang dank eras. Terasa “ular” itu menggeliat di dalam mulut mungilnya. Terdengar lagi orang masuk ke situ. Segera kuambil air dan kusiramkan ke WC agar terdengar dari luar suaranya. Agar orang tau bahwa tempat itu sedang “dipakai” Tetapi Anita protes dengan mencubit pahaku , karena air itu menciprat ke pantatnya. Melhat senjataku sudah siap tempur dengan ukran standard, Anita langsung nungging, pantatnya yang super lebar itu menunggu untuk ditusuk. Kuarahkan palkonku ke vaginanya yang sudah super becek. Baru mau masuk, kudengar suara anak kecil memanggil-manggil, “Maaaa….Mama” Itu Nugie! Aku termangu sesaat.
“Ayooo cepet masukin, Yang” Anita menarik tanganku hinggaaku hamper jatuh ke depan. Blessss…
“Cepet….yang dalam….aduuuh enak banget Yang…..”
‘Mama…….. Mama di mana?”
“Terus …terus…..aduuuh….nah terus…nah…terus…hh…hh..”
Kali ini terdengar suara berat laki-laki. ‘ Nugie, liat ke dalam sana…mungkin Mama baru ke toilet…”
‘Biar….aja….terusssss…..masukkan yang daleeeeeem…”
Tok tok tok kreeeettt, suara pintu kamar mandi di depan dibuka.
‘Nggak ada di sini, Nug” itu suara Mas Willy, ‘Coba kamu tengok yang sana!”
“Sana, Pah?” suara Nugi tepat di depan kamar mandi Mamanya. Lalu Nugi melangkah menjauhi
Aku menghentikan gerakan. Takut menimbulkan suara mencurigakan. tongkolku masih tertancp di dalam sana. Berkedut-kedut. Anita tetap memutar pantatnya . Terdengar suara langkah berat laki-laki mendekati kamar mandi yang kupakai. Jantungku berdetak kencang sekali, sambil otakku berpikir, mengingat, Aku ini di kamar mandi Ladies apa Gents ya? Oh….Yes, aku di kamar mandi untuk Laki-laki. Aku ambil air dan kuguyurkan ke lantai sambil berdehem, Ehm…ehm… dengan suara kuberat-beratkan dan kubesar-besarkan.. Langkah kaki di luar berhenti. Agaknya dia ragu-ragu mau mengetuk pintu. Kali ini Anita benar-benar menghentikan gerakannya. Ketegangan mencengkam.
“Di sini nggak ada, Pa” suara Nugi dari ujung sana. “Yo, Pa dicari di toko beha-beha” Sebenarnya aku geli mendengar kata “toko beha-beha” Maksudnya bagian yang menjual bra dan pakain dalam wanita.
“Mama…ki rak nggenah” terdengar si kecil mengomel sambil melangkah menjauh.
“Awas….licin. Ati-ati….tunggu, Papah” Mas Willy bergegas mengikuti anaknya pergi dari tempat itu.
Ketegangan mereda. Anita kembali memutar pantatnya.
“Ayooo Yang…..ooooohh…. lebh cepat l..”
Plak plak plak…..crap crap crap…. Suara pantat beradu dengan perut dan suara lubang basah ditusuk benda tumpul memenuhi kamar mandi sempit itu. Keringat membasahi seluruh tubuhku. Punggung Anita juga tampak basah. Anita kini melepas bajunya dan BHnya, Kini paudaranya terayun-ayun menambah tinggi rangsangan birahiku. Rasanya aliran magma sudah sampai di ujung palkonku.
‘Yang……piye iki…piye…iki……ooohhhhhh”
‘Terus…terus…terus..mmmmmh…ssssh….ssssh….sssh….”
Terasa lubang Anita menyempit dan mengembang, memijit-mijit batang kemaluanku. Yang semakin membesar…membesar…mengeras…dan…..lepaslah sudah …crot…crot…tanpa sempat kutarik keluar
“Keluarin…yang……aku….aku...mauuuu……aaahhhhhh……kontooooollll”
Anita lalu duduk di bibir kamar mandi dengan lemas. Kurapikan bajunya. Kulepas kaos dalamku untuk menyeka keringat di wajahnya, di punggung dan dadanya. Celana dalamnya yang tak sempat dilepas selama “main” itu basah oleh cairan pejuh, Lengket putih. Dilepasnya dan dibuang di tempat sampah. Skor 1 – 1 .Aku dan dia kini nggak pake CD. Kusisir rambutnya yang acak-acakan. Anita merasakan sikapku yang lembut itu, lalu dia mendekapku erat. “Yaaaang….. I love you” Diciumnya bibirku. Cukup lama aku berciuman, sampai kita sadar, bahwa kesulitan belum teratasi.
“Yang, sementara kita pisah dulu, ya Kita berhubungan via SMS. Kamu jangan jauh-jauh dari Mall ini.”
Dia keluar duluan dari kamar mandi. Aku menunggu sampai aman . Sepuluh menit kemudian baru keluar mengambil arah yang berbeda.

Terapi buat Mas Willy dan tontonan gratis buat Nugie
Dua jam aku jalan-jalan di Mall itu. Aku berhenti di sebuah café. Melepaskan lelah sambil menikmati musik di situ. Aku mengingat-ingat penampilan suaminya. Tinggi besar dan gagah. Memang wajahnya agak kasar, tapi malah jantan dan macho. Sayang menurut Anita pangkatnya PELTU ( nempel metu). Dapet pria EDI begini memang bikin Anita “kehausan”. Lalu apa yang akan terjadi? Apakah Nugie akan ceritakan yang sebenarnya kepada Papanya? Aku jadi ingat ketika aku main music bersama Mamanya, saat itu lagu yang kumainkan Teman Tapi Mesra Nugie pernah nyeletuk dengan lidahnya yang belum betul. Mama itu punya teman tapi mesla. Ya, kan Ma? Aku jadi tersenyum sendiri. Mungkin orang yang melihatku mengira aku gila. Tapi tidak sendirian, ternyata.
“Kok senyum-senyum sendiri, …. Ayo ngelamunin apa?” suara yang sangat kukenal.
“Sudah lama kamu di situ? Kok diem-dieman, lagi ngerjain aku ya, bengong sampai sore di sini “
“Sssttt, … jangan sewot dulu. Ini aku kenalin. Mestinya sudah kenal.”
Seorang wanita yang sering aku liat di kampus. Hmmm, panlok yang cantik. hidungnya kaya gadis Arab. Rambut ikal sebahu. Usia lebih dari 30 tahun. O, ya aku ingat. Ibu ini sering kirim roti tawar lewat pembantunya. Raka anaknya ikut pelajaran music di bawah bimbinganku. Ibu ini agaknya ambisi agar anaknya bisa ikut pentas. Itulah arti roti-roti yang sering aku terima.
“Mamanya Raka…..Liani, Pak!” Ibu yang cantik ini mengulurkan tangan, Kusambut tangannya yang empuk dan hangat. Kontras sekali. Tanganku hitam legam, tangannya putih sekali.
“Terima kasih rotinya,” sambil kulepaskan jabat tanganku.
“Ah, lupakan saja, malu aku. “ Liani (eh, Bu Liani) kedua tangannya menutupi wajahnya tapi dengan jari yang merenggang. Jelas ini bercanda. Maksudnya pura-pura malu (Tapi mau)
“Gini, lho Yang….” Anita memanggilku….Yang? Di hadapan Bu Liani? Keceplosan atau sadar?
“Lian, ini temenku kuliah, juga temen seangkatan suamiku. Dia punya toko di sini, Tuh, d seberang café ini.” Anita menunjuk toko kue dan minuman “Valeria” di seberang sana. Cukup rame tokonya. Apa hubungannya dengan masalahku dan dia saat ini? Aku masih gelap.
“Jangan ragu-ragu atau malu-malu, Lian ini soulmate aku.” Anita membuka sedikit tabir gelap itu.
‘Dia juga sama seperti kita, kok. Yo, Nyah?” Anita melirik nakal ke Liani.
“Mm, terus……” aku masih gelap dan bingung.
“Lian uga punya “pacar” namanya Eddy. Orangnya mirip kamu” Anita menunjuk aku.
“Itemnya? Apa tuanya?” langsung saja aku ambil jalan pintas, biar segera jelas.
“Nggantengnya, dong” Bu Liani menyahut dengan senyuman yang nakal. Deg, aku terkesiap.
“Mmm, …..lalu bagaima…” belum selesai ucapanku sudah ditepis oleh Anita.
“Sik, ta…………ra sabaran.”
‘Maksud, Anita gini …lho.” Liani ambil alih tugas Anita
“Willy, dulu pacar aku. Willy tau “kenakalanku” Dia mutusin aku fgara-gara aku menduakan dia.”
Sambil cerita matanya menatap aku dengan tajam. Kesanku, inilah wanita yang cerdas dan punya prinsip. “Tapi hubungan aku sama Willy tetap baik. Kita putus baik-baik.”
“Ya, teruskan saja” sebetulnya aku sudah nggak sabar di ulur-ulur begini.
“Ubtuk nolong Anita dari masalahnya, Pak Bambang nganter dia ke ruko suaminya.” Begitu tegas dia mengatur rencana. ”Kuperkenalkan Pak Bambang sebagai Eddy “pacarku” karena Willysampai sat ini belum pernah liat Eddy itu yang mana.”
“Kenapa aku harus ikut? Bukannya aku takut. Tetapi dianter Bu Liani kan sudah cukup?”
‘Kalau memang benar katamu, kamu tidak takut sama suamkiku, yam au dong ke sana.” Anita memojokkan aku. Agaknya ada sesuatu yang mereka rencanakan, tapi apa itu, aku masih gelap. Yang penting nasib Anita tertolong. Itulah keputusan akhirku. “Oke, ayo kita ke sana.”
“Tadi, Willy ke tokoku, Tanya sama aku, apa isterinya mampir ke sini.” Liani menjelaskan “Pak, jangan panggil aku Bu, ah. Panggil Lian saja atau Liani.” Aku segan juga mengubah status panggilan, karena dia kan orang tua murid dn aku guru anaknya. Meskipun hanya guru Ekskul.
“Saya coba ya Bu. Eh Cik Liani” masih kaku juga.
‘Cik, boleh Tanya. Lha tokonya di Semarang ditinggal?” setauku dia punya toko roti Victoria di Jalan Mataram. “Kok sekarang di sini.?”
“Kan ada yang bertanggung jawab di sini. Aku masih punya dua apotek di Ungaran dan Semarang. Jadi aku keliling kota tiap hari.”
“Oooo…….” Ooo..yang punya multi meaning. O…aku tau. O…kebetulan kamu ada, jadi Anita bisa minta tolong dan “O” yang terakhir….kok kaya sekali.
“Pak Bambang…jangan panggil aku Cik, memange Bambang adikku?” kurang ajar “Bu Liani” ini, berani-berninya panggil aku BAMBANG tanpa embel-embel Pak !!!
‘Tapi, aku tetap panggil njenengan Pak, karena aku harus menghormati orang tua.” Liani memperjelas maksudnya.
“Oke. Oke. LI----A------NI. Hallo Liani.” Aku tertawa terbahak-bahak sambil menjabat tangannya.
“Hallo Pak Eddy kekasihku” Liani melirik manja
“Pak, ini latihan acting, sebelum ketemu Willy” Liani menggandengku. Aku masih grogi.
“Sip….sip. Kalian berdua pasangan serasi.”Anita mengacungkan jempol “Yo, It’s show time!”
Liani nganter aku lake mobil box rotinya. Ya, ampuuuun. Rasanya gimanaaa, gitu. Lucu dan aneh.
“Jangan pada turun. Aku dulu.” Liani mencegah Anita dan aku. Dia buka pintu dan turun langsung menuju rujo Mas Willy.
“Well, ki ngeterke pesenanmu. Roti karo eskrim.” Mas Willy keluar dengan ragu-ragu.
“Lho, kowe, Nik…..tumben. Aku nggak pesen apa-apa, lho.” Nampak dia bingung. Liani disuruh masuk. Nampak mereka sangat akrab.
“Bojomu katut, tak gawa setor-setor. Sorry. Dia sibuk nyalin buku tugase Raka, katanya Nugi nggak masuk sehari, ya. Pas, tadi Raka ketemu Tante Nita, bojomu kuwi. Terus Anita ingat, mau pinjam buku tugas. Bukunya di mobil. Sopirku kesusu, lha….nyonyahmu katut.”
“Sekarang mana Mamae Nugie.?” Mas Willy meliat ke luar.
“Well, eh…aku mau kenalkan “pacarku” terakhir ini.” Liani menarik Mas Willy yang hamper berdiri.
“Ganti lagi? Nik…Nonik. Ko Frans suamimu itu cuma untuk pajangan, to?” Willy sudah tau kebiasaan buruk Liani. Makanya dulu putus hubungan.
-----------lama sekali Liani di dalam, akhirnya dia keluar. Aku disuruh merangkulya ---------
‘”Pak Bambang ingat, namamu Eddy, kamu pacarku, kita harus nampak mesra” ia berbisik tegas.
Willy menyambut jabat tanganku dan mempersilakan duduk. Tokolalu ditutup sebagian, tinggal celah kecil terbuka. Yo, naik ke rumah” Mas Willy, yang dipanggil Well, itu menaiki tangga memutar, menuju bagian atas yang berfungsi sebagai “rumah”
Tiba di atas, ruang digelari karpet tebal, ada TV dan seperangkat alat elektronik. ACnya dingin banget. Lantai 3 khusus tempat tidur. Kita duduk lesehan. Liani terus duduk mepet aku. Aku berusaha menahan perasaan antara “ingin” dan “jangan” Rok Liani yang cekak itu tidak mampu menutuippi seluruh pahanya yang amat putih. Kontras dengan karpet biru tua. Baju Liani berdada rendah, sehingga hampir separo payudaranya keliatan.
Mas Willy sepertinya juga tertarik dengan penampakan LIANI. Tiba-tiba Liani menciumku sambil melihat ke arah Mas Willy.
“Willy, kamu tau kan, kenapa kita putus dulu? Sebab sebenarnya, lho. Kamu nggak usah malu-malu di hadapan “suamiku” ini.” Apalagi rencana panlok cerdas ini?
“Demi persahabatanku dengan Anita dan dengan kamu, aku mau nolong kamu”
Willy diputus sama Liani yang hipersex, gara2 menderita kelainan EDI ( Ejakulai Dini) Setelah diberi pengertian, Mas Willy setuju metoda yang akan didemonstrasikan. Liani berdiri di tengah ruangan. Berjalan seperti seorang model. Luwes banget. Lalu satu persatu pakaiannya dilepas. Aku dan Mas Willy Cuma terpaku mupeng. Saat Liani memelorotkan CDnya, aku sudah mupeng berat. Mas Willy bersandar di dinding, matanya tak lepas dari tubuh sesy yang bagai boneka lilin itu. Sambil membuang CDnya ke arahku, Liani memencet HP di tangannya. Rupanya dia memberi kode Anita supaya masuk. Karena perhatiannya terpusat pada cina cantik yang telanjang di depannya, Mas Willy tidak menyadari bahwa Anita masuk ruangan dan mendekatinya. Liani berbaring di karpet sekarang. Punggung di ganjal bantalan tipis, kedua pahanya dijulurkan ke atas. Perhatianku terpusatdi pangkal pahanya yang sangat putih. Disitu kulihat kemaluannya yang merah jambu dengan jenbut yang sangat lebat. Tak kuat menahan tak terasa aku melepas celana supaya batangku tidak tertekan, karena sudah membesarr mendekati maksimal. Anita dengan lembut melepas celana suaminya. Terlihat senjata Mas Welly yang sudah sangat tegang. Anita diam-diam melepas CDnya meskipun masih pakai baju lengkap. Dia berdiri membelakngi suaminya, lalu jongkok. Lubangnya diarahkan ke palkon suaminya. Tapi tidak dimasukkan. Liani mendekati aaku. Denyut jantungku kencang, muka terasa panas sekali. Liani menyerahkan toketnya untuk aku sentuh dan remas. Saat aku meremas-remas susu Liani, Mas Willy terus memperhatikan. Liani mendorong tubuhku hingga telentang. Pantatnya yang besar dan putih kini di atasku. Liani maih terus berlenggang lenggok “menggoda” Mas Will. Ku yang di bawah rasanya sudah penginmenarik turun pantat dengan lubang merah yang sangat menantang itu. Aku sudah tidak memperhatikan Mas Willy dan Anita. Kuraih paha Liani. Kutarik agar merendah. Liani kini jongkok membelakangi aku. Kuperhatikan pahanya yang putih sempurna. Kuelus dan kurasakan kemulusan dan kehangatannya. Aku pengin mengobel kemaluan Liani, tapi Liani sudah menuju ke senjataku yang berdiri menjulang. Pelan-pelan dia menduduki dan blessss……oooohhh….nikmat sekali.
Di depan Liani, Anita melakukan gerakan yang sama, menirukan setiap gerakan Liani. Sehingga Willy memperoleh dua rangsangan. Tetapi saat Liani sudah naik turun mengurut-urut senjataku. Anita masih menjaga jarak. Palkon Willy hanya disentuh sedikit Setiap Willy berusaha menarik, Anita mengangkat lagi. Aku sendiri sudah tidak peduli. Wanita satu ini jauh lebih mahir daripada Anita. Pantatnya memutar sambil tempiknya empot-empotan memijit tongkolku. Naik turn dengan kecepatan rendah. Ahhhh…..Well…..enak sekali…..ayo Well…… Liani terus menggoda Willy. Saat baru enak-enaknya diurut-urut dengan lubang kenikmatan Cina cantik ini, tiba-tiba aku terkejut dan kecewa karena Liani berdiri dan batangku lepas dari lubang surganya. Dia berjalan ke a rah Willy.
“Nita….tukar posisi” Liani memerintah tegas. Anita langsung menuju ke arahku. Dia jongkok dan memasuk kan batang yang tegak mengacung itu ke dalam lubang yang 3 jam yang lalu aku tembus. “Ayo…..Yang….. jangan ragu-ragu…”
“Kamu tidak cemburu…..?” aku berbisik. “ Suamimu tidak marah?”
‘Liahatsaja nanti…..” Anita terus bergerak naik turun dengan santai” Yang nikmnati saja, jangan terburu-buru. Ini terapi buat suamiku.” Aku mengangguk. Baru Lima menit Liani datang lagi. Tukar posisi lagi. ‘Ayo Well habisi isterimu. Ternyata kamu sudah bisa bertahan 10 menit dengan aku.”
Liani kini meniduri aku, dipeluknya ketat tubuhku dan bibirnya mengulum bibirku.
Bisiknya” Ayoooo…. Kata Anita kamu perkasa,ya. Aku ingin bukti.” Liani turun dan mengulum tongkat hitam itu dengan rakus. Sungguh kontras pemandangan di depanku. Wajah yang putih, bibir yang mungil dengan benda hitamdi antara bibirnya. Ohhh sensasi yang luar biasa. Topi merahkudi jilat-jilat dengan amat terampil.
“Liani….masukkan saja. Aku nggak kuat” Liani tersenyum liar,
“Kutunggu kamu memohon ….Sekarang…ya?”
“Cepet…..Liani…..”
“Oke….Eddy…..sayang"

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda